Gawat, 4 Pulau aceh dicaplok sumut !

Author name

7 Juli 2025

BANDA ACEH, 15 Juni 2025 – Sengketa wilayah atas 4 pulau Aceh , yakni Pulau Mangkir Besar, Mangkir Kecil, Lipan, dan Panjang, yang terletak di perbatasan Kabupaten Aceh Singkil, Aceh, dan Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, kembali memanas. Keputusan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang menetapkan keempat pulau masuk wilayah Sumatera Utara memicu protes keras dari masyarakat dan pemerintah Aceh. Konflik ini memiliki akar sejarah panjang dan melibatkan aspek geografis, administratif, hingga sensitivitas politik otonomi khusus Aceh. Berikut kronologi dan perkembangan terkini sengketa tersebut.

Akar Sejarah Sengketa 4 Pulau Aceh

Persoalan batas wilayah antara 4 pulau Aceh dan Sumatera Utara bukanlah isu baru. Sejak 1928, polemik mengenai batas wilayah kedua provinsi telah muncul. Pada 1965, Surat Keputusan Kepala Inspeksi Agraria Daerah Istimewa Aceh menyebutkan bahwa 4 pulau aceh tersebut berada dalam wilayah Aceh, dengan klaim kepemilikan oleh ahli waris Teuku Raja Udah. Namun, pada 2002 hingga 2005, Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) menerbitkan peta baru yang memasukkan 4 pulau Aceh tersebut ke dalam Sumatera Utara, dengan alasan jarak geografis yang lebih dekat ke Tapanuli Tengah dan kemudahan administrasi. Keputusan ini langsung memicu keberatan dari Aceh Singkil pada 2005.

Pada 2008, Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi, yang melibatkan Kemendagri, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Badan Informasi Geospasial (BIG), TNI AL, dan instansi terkait, melakukan verifikasi. Tim ini mendata 213 pulau di Sumatera Utara, termasuk 4 pulau Aceh yang disengketakan, sementara verifikasi di Aceh tidak memasukkan pulau-pulau tersebut. Pada 2009, Gubernur Sumatera Utara mengonfirmasi bahwa provinsinya mencakup 213 pulau, memperkuat klaim atas keempat pulau tersebut.

Eskalasi dan Upaya Penyelesaian

Sepanjang 2017 hingga 2021, Pemerintah Aceh berulang kali menyampaikan keberatan melalui surat resmi kepada Kemendagri dan BIG. Rapat koordinasi dan survei lapangan oleh tim gabungan dilakukan, tetapi berita acara pada November 2017 tetap menetapkan 4 pulau Aceh tersebut sebagai bagian Sumatera Utara. Pada 2021, Gubernur Aceh kembali mengirimkan surat untuk meminta revisi data pulau, namun tidak mendapat respons yang mengubah keputusan sebelumnya. Kepala BIG kemudian menerbitkan Surat Keputusan Nomor 51 Tahun 2021, yang secara resmi menetapkan 4 pulau Aceh sebagai bagian Sumatera Utara.

Pada 2022, Kemendagri menerbitkan Keputusan Menteri Nomor 050-145 Tahun 2022, yang memasukkan 4 pulau Aceh ke dalam wilayah administrasi Sumatera Utara. Verifikasi lapangan pada Mei hingga Juni 2022 mendukung keputusan ini, merujuk pada peta topografi 1978 yang menunjukkan garis batas indikatif di atas 4 pulau. Aceh Polemik mencapai puncaknya pada 25 April 2025, ketika Kemendagri menerbitkan Keputusan Menteri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025, yang secara tegas menetapkan 4 Pulau aceh Mangkir Besar, Mangkir Kecil, Lipan, dan Panjang sebagai bagian dari Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.

“Keputusan ini diambil berdasarkan kajian mendalam sejak 1928, melibatkan BIG, TNI AL, dan Topografi TNI AD. Secara geografis, pulau-pulau ini lebih dekat ke Tapanuli Tengah, dan aspek historis serta teknis juga mendukung,” ujar Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian pada 11 Juni 2025, menanggapi protes masyarakat Aceh.

Reaksi Aceh dan Ketegangan Sosial

Keputusan Kemendagri memicu gelombang protes di Aceh. Pada 3 Juni 2025, ratusan warga yang tergabung dalam Aliansi Gerakan Masyarakat Aceh Menggugat Mendagri (AGAMM) menduduki Pulau Panjang, menolak keputusan tersebut dan menyebutnya sebagai “kezaliman sistematis.” Gubernur Aceh Muzakir Manaf, mantan Panglima Militer Gerakan Aceh Merdeka (GAM), menegaskan penolakan keras, menganggap keputusan ini melanggar semangat Perjanjian Helsinki 2005 yang menjamin otonomi khusus Aceh.

“Ini bukan sekadar soal pulau, tetapi harga diri dan martabat rakyat Aceh. Kami punya bukti sejarah bahwa pulau-pulau ini milik Aceh sejak lama,” tegas Muzakir dalam pernyataannya pada 4 Juni 2025.

Baca juga: wahana tsunami jatim park

Masyarakat Aceh Singkil juga mengklaim bahwa mereka telah mengelola pulau-pulau tersebut secara administratif, termasuk pembangunan tugu dan musala di Pulau Panjang menggunakan anggaran daerah. Ketegangan sosial meningkat, dengan ancaman aksi massa yang lebih besar jika tuntutan tidak dipenuhi. Polemik ini menyentuh sensitivitas sejarah konflik Aceh, termasuk pemberontakan DI/TII dan GAM, yang dipicu oleh kebijakan pusat yang dianggap merugikan.

Perspektif Sumatera Utara

Di sisi lain, Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution menyambut baik keputusan Kemendagri. Ia menegaskan bahwa pulau-pulau tersebut lebih dekat secara geografis ke Tapanuli Tengah, sehingga masuk akal secara administratif untuk dikelola oleh Sumatera Utara. Pada 4 Juni 2025, Bobby bertemu Muzakir di Banda Aceh untuk membahas polemik ini, tetapi pertemuan singkat tersebut tidak menghasilkan kesepakatan. Bobby menyatakan kesiapan untuk berdialog lebih lanjut di Jakarta bersama Kemendagri.

“Kami ingin mencari solusi yang baik untuk semua pihak. Jika perlu, kami siap kelola pulau-pulau ini bersama Aceh,” kata Bobby usai pertemuan.

Langkah Pemerintah Pusat

Pemerintah pusat berupaya meredakan ketegangan. Tito Karnavian menegaskan bahwa keputusan didasarkan pada proses panjang dan terbuka terhadap gugatan hukum ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Pada 13 Juni 2025, Kemendagri mengumumkan rencana kajian ulang dengan melibatkan Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi, kepala daerah, tokoh masyarakat, dan DPR dari kedua provinsi. Sehari kemudian, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengungkapkan bahwa Presiden Prabowo Subianto telah mengambil alih penyelesaian sengketa ini, dengan target keputusan akhir pada pekan berikutnya.

“Presiden ingin masalah ini selesai dengan adil dan tidak memicu konflik sosial. Kami targetkan solusi final dalam waktu dekat,” ujar Dasco pada 14 Juni 2025.

Dampak dan Tantangan

Perubahan status pulau-pulau ini berdampak signifikan pada nelayan Aceh Singkil, yang kini harus mengurus ulang izin penangkapan ikan dan akses dana pembinaan perikanan di Sumatera Utara. Hal ini berpotensi menimbulkan birokrasi ganda dan konflik antar-komunitas nelayan. Secara ekologis, pulau-pulau tersebut memiliki hutan bakau yang penting sebagai penyangga lingkungan dan sumber penghidupan petani garam.

Sengketa ini juga menimbulkan tantangan politik, terutama karena belum ditetapkannya batas laut antara Aceh dan Sumatera Utara. Dugaan adanya motif migas di balik keputusan ini semakin memanaskan situasi, meskipun belum ada bukti konkret.

Status Terkini

Hingga 15 Juni 2025, Presiden Prabowo Subianto memimpin upaya penyelesaian sengketa, dengan harapan keputusan akhir segera tercapai. Masyarakat Aceh terus menyuarakan penolakan, sementara pemerintah pusat berjanji mengkaji ulang dengan mempertimbangkan aspek geografis, historis, dan kultural. Konflik ini menguji kemampuan pemerintah untuk menyeimbangkan kepentingan administratif dengan sensitivitas sejarah dan sosial, demi menjaga stabilitas di kedua provinsi.

Tinggalkan komentar